Catatan Perkembangan Ekonomi Era Jokowo 2016

PT RIFAN FINANCINDO BERJANGKA

Rifan Financindo - Semarang, Kondisi ekonomi Indonesia masih bergejolak sepanjang 2016. Meski pertumbuhan ekonomi diprediksi mampu menembus 5 persen, lebih baik dari tahun lalu yang hanya 4,79 persen, "rapor" Presiden Joko Widodo (Jokowi) di bidang ekonomi masih banyak catatan.
"Kami melihat proses kebijakan sudah bagus artinya ada optimisme. Tetapi, juga harus jujur bahwa masih banyak catatan," ujar Direktur Eksekutif Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati.
Catatan-catatan itu meliputi tiga hal yang krusial. Pertama, yakni masih tingginya tingkat pengangguran.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), angka pengangguran mencapai 5,61 juta orang pada Agustus 2016.
Kedua, angka kemiskinan. Dari data BPS, angka kemiskinan mencapai 28,01 juta orang pada Maret 2016. Data ini sedikit lebih baik dari Maret 2015 yang mencapai 28,59 juta orang.
Ketiga, ketimpangan masyarakat atau biasa disebut gini rasio. Masih dari data BPS, gini rasio mencapai 0,39 pada Maret 2016, atau turun 0,01 dari kondisi Maret 2015.
Menurut Enny, ketiga data itu tidak bisa dikesampingkan begitu saja apabila ingin menilai rapot ekonomi Presiden Jokowi sepanjang 2016. Sebab tujuan utama ekonomi adalah menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Mencermati Data
Baru-baru ini, Bloomberg mengulas singkat kinerja sejumlah pemimpin di Asia, termasuk Presiden Joko Widodo, sepanjang 2016. Sejumlah data pun ditampilkan untuk melengkapi ulasan tersebut.
Bloomberg memberikan nilai “hijau” untuk Jokowi dari sisi stabilitas nilai tukar yang naik 2,41 persen, menjaga pertumbuhan ekonomi 5,02 persen, dan memiliki tingkat penerimaan publik mencapai 69 persen.
Penilaian tersebut bersumber pada riset Bloomberg dan Saiful Mujani Research and Consulting dari Juli 2015 sampai Oktober 2016.
Namun, Enny berpesan agar publik cermat membaca data-data yang ditampilkan. Apalagi bila ingin mengambil satu kesimpulan terhadap data tersebut.
Menurut ia, membandingkan data ekonomi satu negara dengan negara lain harus secara apple to apple, setara atau berimbang. Dengan begitu maka penilaian bisa objektif.
Misalnya perbandingan pertumbuhan ekonomi Indonesia 5 persen yang diberi nilai hijau, dengan India yang mampu tumbuh 7,3 persen namun diberi nilai merah oleh Bloomberg.
"Bagaimana mungkin India yang approval rating-nya 81 persen dikatakan lebih lebih rendah dari Indonesia (yang hanya 69 persen)? Pertumbuhan ekonomi 7,3 persen itu turun (diberi nilai merah) karena tadinya 7,5 persen," ucap Enny.
Sementara Indonesia yang pertumbuhan ekonominya hanya 5,02 persen pada 2016 justru diberi nilai hijau.
Hal itu disebabkan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2015 hanya 4,79 persen. Di tengah kondisi pelemahan ekonomi global, ucap Enny, pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen sudah sangat baik.
Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi India tidak bisa dibilang buruk meski diberi nilai merah.
Sedangkan untuk perbandingan nilai tukar, Enny juga mengingatkan ada sejumlah negara yang justru sengaja mendepresiasi mata uangnya. Salah satu negara yang melakukannya yakni China.
"Ini kan ukuran-ukuran yang sifatnya indikasi ya, instrumen. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, nilai tukar termasuk rating kita di mata internasional itu baru indikator. Tetapi ukuran lebih kongkrit ya kesejahteraan rakyat," kata dia.
Berdasarkan tiga indikator yakni nilai tukar, pertumbuhan ekonomi, dan penerimaan publik, Bloomberg menempatkan Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden terbaik 2016 di antara delapan negara Asia - Australia.
Menurut Bloomberg, Jokowi terbukti mampu menguatkan nilai tukar sebesar 2,41 persen, menjaga pertumbuhan ekonomi 5,02 persen (tahun ke tahun), serta memiliki tingkat penerimaan publik cukup tinggi 69 persen.
Penilaian tersebut bersumber pada riset Bloomberg dan Saiful Mujani Research and Consulting dari Juli 2015 sampai Oktober 2016.
Bloomberg juga menyebutkan bahwa Jokowi cukup piawai dalam berpolitik, terbukti dapat merangkul dua pertiga kursi di parlemen.
Selain itu, program amnesti pajak juga berhasil diloloskan untuk membiayai program pembangunan infrastruktur.
Bloomberg
Rapor Presiden Jokowi versi Bloomberg

Sementara itu, Presiden Korea Selatan Park Geun-hye disebutkan sebagai presiden terpayah 2016 di antara delapan pemimpin negara versi Bloomberg.
Ketiga indikator penilaian dinilai kurang seperti nilai tukar Won yang turun 2,87 persen, pertumbuhan ekonomi yang hanya mampu mencapai level 2,6 persen, dan tingkat penerimaan publik yang merosot di 4 persen.
Penilaian tersebut bersumber pada riset Bloomberg dan Gallup dari Januari 2016 hingga November 2016.
Adapun Presiden Filipina Rodrigo Duterte memiliki tingkat penerimaan publik tertinggi mencapai 83 persen. Selain itu, pertumbuhan ekonomi Filipina juga tercatat paling tinggi mencapai 7,1 persen.
Sayangnya Duterte tak sepiawai Jokowi dalam menstabilkan nilai tukar. Nilai tukar Peso melorot minus 5,29 persen.
Penilaian tersebut bersumber pada riset Bloomber dan Social Weather Stations dari Januari 2016 hingga September 2016.
Menurut Bloomberg, tantangan terbesar Duterte di 2017 adalah menyeimbangkan hubungan dengan Amerika Serikat dan China, dengan cara menjalin kerja sama ekonomi dan menghadapi tantangan dari bisnis dan elit militer.
Selain Jokowi, Park, dan Duterte, Bloomberg juga menilai performa lima pemimpin negara lainnya di 2016 yaitu Xi Jinping, Shinzo Abe, Narendra Modi, Malcolm Turnbull, serta Najib Razak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Global Masih Volatil, Potensi Harga Emas Melesat Terbuka

PETUGAS VETERAINER DATANG UNTUK ANALISA KEMATIAN KAMBING YANG MENDADAK

Aneka Gethuk Jajan khas jawa Tengah