Prospek Komoditi Indonesia Sebagai Acuan Harga Dunia

Potensi Komoditi Indonesia
Indonesia sebagai negara agraris memiliki kekayaan alam yang sangat berlimpah. Banyak komoditi Indonesia baik soft commodity maupun hard commodity mampu menduduki peringkat utama dunia. Sebagai contoh, Rempah-Rempah dan Kelapa Sawit Indonesia sebagai negara penghasil menduduki peringkat nomor satu, Karet peringkat nomor dua, Beras, Kopi, Kakao, Tembaga dan Timah peringkat nomor 3,  Batubara peringkat nomor 5 dan Emas peringkat nomor 8 urutan dunia.

• CPO
Produksi CPO di Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 12,3%. Pada tahun 2003 produksi CPO Indonesia baru 10.440.00 ton, namun di tahun 2010 produksi CPO sudah mencapai 22.435.000 ton.
Saat ini Indonesia menguasai pangsa pasar ekspor CPO terbesar di dunia sebesar 64,53%, sementara Malaysia menguasai pangsa pasar ekspor produk turunan CPO sebesar 52,35%.

•  Karet
Produksi karet dunia dalam kurun waktu 1995-2011 menunjukkan peningkatan sebesar 1,7%. Indonesia tercatat sebagai produsen Karet terbesar kedua setelah Thailand, pada tahun 2002 mampu memproduksi sekitar 1,6 juta ton dan meningkat pada tahun 2007 menjadi 2,8  juta ton, sekalipun sempat turun pada tahun 2009 menjadi 2,5 juta ton. Selain itu Indonesia saat ini memiliki perkebunan karet rakyat terbesar di dunia dengan luas sebesar 2,93 juta hektar.  Menurut Indonesian Rubber Research Institute pada tahun 2015 dan 2020 Indonesia diproyeksikan akan menghasilkan 3,5 juta ton s/d 3,8 juta ton karet.

•  Kakao
Indonesia adalah negara penghasil kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading & Ghana. Dalam sebelas tahun terakhir produksi tertinggi Indonesia mencapai 621.873 ton di tahun 2006. Sejak 2011 telah terjadi revolusi kakao Indonesia, dimana Indonesia telah menjelma menjadi salah satu negara pengolah kakao terbesar di dunia. Eksporpun meningkat dari sekitar 100.000 ton di tahun 2009 menjadi diatas 300.000 ton di tahun 2012. Tidak lama lagi diprediksi Indonesia akan menjadi negara pengekspor kakao terbesar di dunia.

Bagi Indonesia komoditi kakao memiliki nilai penting, yaitu sebagai andalan ekspor, penyumbang devisa terbesar ketiga setelah sawit & karet untuk sektor pertanian, serta menghidupi lebih dari 1,3 juta kepala keluarga petani yang sebarannya ada diseluruh wilayah Indonesia.

•  Batubara
Berdasarkan angka dari Ditjen Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral,  produksi batu bara Indonesia selalu meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2003, produksi Indonesia baru sebesar 121 juta ton, dan pada tahun 2008 sudah meningkat dua kali menjadi sebesar 240 juta ton. Menariknya, pada tahun 2012, jumlah produksi batu bara Indonesia meningkat lebih dari tiga  kalinya dibanding tahun 2003, yaitu sekitar 386 juta ton.  Indonesia saat ini termasuk dalam jajaran negara produsen Batubara yang cukup besar. Pada 2011 Indonesia berada di posisi kelima terbesar produsen batubara dunia dengan produksi 376 juta ton

Fakta Penentuan Harga Komoditi
Potensi komoditi Indonesia yang demikian besar seharusnya dapat membuat Indonesia menjadi negara penentu harga komoditas dunia, paling tidak untuk komoditi-komoditi unggulan yang dihasilkan Indonesia, namun  kenyataannya harga komoditas unggulan tersebut di tentukan oleh negara-negara lain sebagai pihak konsumen.

Dalam perdagangan komoditas global, negara konsumen akan selalu berusaha untuk menekan harga komoditas unggulan Indonesia, tentunya hal ini sangat menguntungkan mereka. Penyebab utama lemahnya negosiasi dalam penentuan harga komoditi produksi Indonesia, adalah ketidak-mampuan untuk membentuk harga sendiri di dalam negerinya, maka persaingan harga yang terjadi diantara penghasil komoditas di dalam negeri dimanfaatkan oleh para konsumen.  Mereka akan semakin diuntungkan apabila pada masa panen para petani kita saling membanting harga supaya komoditasnya terjual.
Sebagai contoh, komoditi unggulan produksi Indonesia seperti kakao, kopi dan batubara, dari Desembar 2011 sampai Februari 2013, harganya cenderung terus menurun. Harga Kakao turun dari USD 2.150 menjadi USD 2.130, turun 1%. Harga Kopi mengalami penurunan dari USD 220 menjadi USD150, turun 30%, harga Batubara mengalami penurunan dari  USD115 menjadi USD95, turun 17%.
Sementara untuk komoditi yang produsennya berasal dari luar negeri, seperti kedelai, jagung dan gandum mampu meningkatkan harga. Sebagai contoh harga kedelai yang di kuasai oleh negara produsen AS naik dari USD 1.150 menjadi USD 1.470, meningkat 28%. Jagung naik dari USD 550 menjadi USD 770, meningkat 27%. Gandum mengalami kenaikan harga dari USD 650 menjadi USD 780, meningkat 20%.
Faktor Pengelolaan Harga
Mengapa harga komoditas yang produsennya adalah Amerika Serikat harganya bisa naik sedangkan harga komoditas yang produsennya adalah Indonesia cenderung turun? Apakah hal ini semata-mata faktor supply – demand, atau ada faktor pengelolaan harga (price management) ?

Tentunya faktor supply – demand tetap menjadi faktor utama penentuan harga komoditas, namun faktor pengelolaan harga memiliki peran besar dalam menentukan harga komoditas ini. Amerika Serikat memiliki bursa komoditi seperti Chicago Board of Trade (CBOT) / Chicago Mercantile Exchange (CME) dan lainnya yang bisa menjadi acuan harga komoditas dunia, sedangkan Indonesia tidak memilikinya.

Petani di Indonesia tidak memiliki harga acuan, sehingga ketika hasil berlimpah pada musim panen harga bisa tertekan jatuh karena harga acuan di sisi konsumen atau di sisi belahan dunia yang sedang tidak panen tidak diketahui oleh petani tersebut, sementara itu pihak perantara yang mengetahui informasi selisih harga (spread) akan memanfaatkannya sebagai keuntungan. Oleh sebab itu kesejahteraan petani di Indonesia sangat jauh dibanding dengan petani Amerika Serikat karena faktor pengelolaan harga komoditas ini.  Kelemahan inilah yang menjadikan kontrol harga ada di pihak negara konsumen, bahkan beberapa bursa komoditas global justru berada di negara-negara konsumen, bukan di negara produsen.
Meskipun tidak adanya acuan harga bagi petani berakibat sangat merugikan pengelolaan harga di Indonesia, namun bukan berarti acuan harga ini menjadi faktor utama naik atau turunnya harga komoditas karena Indonesia juga bukan satu-satunya produsen seperti kopi, kakao, karet, maupun batubara. Namun dengan adanya acuan harga bagi petani sangat bisa dimanfaatkan untuk mengurangi spread yang tidak efisien akibat kurangnya informasi harga.
Peran Bursa Komoditi
Sejak dikeluarkannya UU no 32 tahun 1997 yang mengatur mengenai Perdagangan Berjangka Komoditi di Indonesia, Indonesia sudah memiliki bursa komoditi yang dinamakan Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) atau Jakarta Futures Exchange (JFX) yang mulai beroperasi sejak tanggal 15 Desember 2000. Selanjutnya lahir juga Bursa Komoditi dan Derivative Indonesia (BKDI) atau Indonesia Commodity and Derivative Exchange (ICDX) yang telah beroperasi sejak 23 Juni 2009.

JFX memperdagangkan kontrak olein, kopi robusta, kontrak emas dan CPO, selanjutnya ICDX memperdagangkan kontrak CPO, emas, batubara, timah, minyak mentah. Dalam perkembangannya tidak semua kontrak yang diperdagangkan di kedua bursa komoditi tersebut bisa likuid, bahkan beberapa sudah sepi sehingga belum tercipta harga yang diharapkan menjadi acuan perdagangan komoditas ini.

Peran bursa komoditi di Indonesia masih sangat dinantikan hasilnya, sekalipun perkembangan masih sangat minim, sekalipun terlihat JFX berusaha untuk menjadi acuan harga kakao, volume perdagangan kakao di JFX meningkat dari 6.858 lot per bulan pada Juli 2011, menjadi 35.600 lot per bulan pada Juli 2013, meningkat 419%, sedang ICDX berusaha menjadi acuan harga CPO dan timah.

Dukungan Pemerintah Indonesia
Salah satu upaya Kementerian Perdagangan mendorong terciptanya acuan harga dari bursa komoditi, maka pemerintah mengeluarkan peraturan tentang ekspor timah (Peraturan Menteri Perdagangan RI, No 32/M-Dag/Per/6/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan No 78/M-Dag/Per/12/2012 Tentang Ekspor TIMAH) yang mewajibkan ekspor timah harus melalui mekanisme perdagangan di bursa komoditi.

Diharapkan pemerintah Indonesia memang terus mendukung dan menciptakan transparansi harga komoditas ini sehingga memberi peluang petani Indonesia mempersempit spread yang selama ini lebih dinikmati oleh perantara perdagangan komoditas global.
 
Bursa dan Fasilitas Penunjang
Peran bursa yang diharapkan menjadi acuan harga dalam rangka pengelolaan harga komoditas juga diharapkan mampu menjadi pemicu lahirnya fasilitas penunjang lainnya seperti :

•       Pengelolaan cadangan komoditas melalui sistem pergudangan yang terintegrasi dengan mekanisme perdagangan di bursa,
•       Standarisasi kualitas komoditas produk komoditas sesuai dengan standar yang berlaku di pasar global,
•       Kemudahan akses perdagangan secara global, dimana pintu perdagangan dari luar negeri dan dalam negeri bertemu di bursa komoditas,
•       masuknya pendanaan dari pasar uang untuk pengelolaan stok komoditas hingga ke petani, sehingga petani mampu menahan cadangan komoditas dan bukan melepasnya dengan harga yang tidak menguntungkan pada saat produksi berlimpah.

Faktor-faktor ini akan menjadi faktor penentu kekuatan perdagangan komoditas Indonesia di pasar global.

Mempercepat Terbentuknya Acuan Harga Komoditias

Untuk mencapai tujuan itu, Indonesia memiliki peluang yang sangat besar dengan langkah-langkah yang perlu di tempuh, sebagai berikut :

1. Indonesia sebagai negara agaris yang memiliki keunggulan kekayaan alam, bahkan beberapa komoditasnya menduduki peringkat atas dunia, harus memanfaatkan posisi ini sebagai daya tawar untuk membentuk acuan harga pro produsen.

2. Potensi komoditas unggulan Indonesia yang dominan di pasar global harus disertai dengan pengelolaan harga yang lebih efisien guna meningkatkan kesejahteraan para petani Indonesia.

3. Meningkatkan peran bursa komoditi di Indonesia untuk segera menjadi acuan harga, sehingga mengurangi dominasi penentuan harga dari sisi negara konsumen.

4. Selain bursa komoditi, sudah saatnya dibangun juga fasilitas penunjang seperti pergudangan, tehnologi informasi untuk mengakses pasar serta pendanaan perdagangan komoditas Indonesia yang lebih terintegrasi sehingga meningkatkan daya tawar secara global.

5. Perlunya langkah-langkah pemerintah Indonesia untuk mengeluarkan regulasi-regulasi yang mendukung terciptanya efisiensi pasar di dalam negeri untuk bisa lebih bersaing di luar negeri.

Saya pribadi berpandangan bahwa potensi ini akan lebih terbuka bila para pelaku usaha komoditi unggulan Indonesia berani menjadi market maker dan price maker pada perdagangan Bursa Komoditi di Indonesia, mengapa tidak ? bukankah kontribusi produksi komoditas unggulan kita sudah dominan di pasar global, saatnya sekarang macan memang harus mengaum bukan berkokok.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Global Masih Volatil, Potensi Harga Emas Melesat Terbuka

PETUGAS VETERAINER DATANG UNTUK ANALISA KEMATIAN KAMBING YANG MENDADAK

Aneka Gethuk Jajan khas jawa Tengah