Pesona Bangkiang Sidem

PT RIFAN FINANCIDO BERJANGKA – Bagi sebagian besar wisatawan yang berkunjung ke Bali, tinggal di villa merupakan suatu impian yang jadi kenyataan. Mereka yang memilih tinggal di vila sekitar Bangkiang Sidem Gianyar malahan akan mendapatkan sensasi lebih dari sekadar mimpi belaka. Karena vilanya berada di pinggir jurang, mereka yang menginap di sana bisa melihat elang bondol bermigrasi dari Australia ke kutub utara pada musim semi.
Bangkiang Sidem sendiri berarti pinggang semut, dia berada di bagian utara Ubud, di tepian Sungai Wos yang masih rindang dengan pohon manggis, bayur, bahkan trembesi dan pohon jati gunung. Dan tentu juga ratusan nyiur yang tumbuh di tebing sungai Wos dengan daunnya yang melambai sepanjang waktu.
Untuk mencapai kawasan yang memiliki puluhan villa ini kita harus merambah jalan terjal dari Banjar Payogan di Kedewatan. Kemudian dengan sedikit usaha harus jalan kaki, karena untuk mencapai villa yang ada di bagian barat sungai Wos ini tidak bisa dilintasi kendaraan roda dua.
"Sebelum ada jalan tembus dari Payogan, turis malahan rela berjalan 1 jam dari sekitar jembatan Campuan di Ubud," ungkap Made Punia, 51 tahun pemilik villa di kawasan Bangkiang Sidem.
Puncak keramaian di Bangkiang Sidem biasanya antara Juni sampai September, saat wisatawan Eropah banyak menyerbu. Juga di akhir tahun dan di musim liburan sekolah, tempat ini sudah jadi kalender utama buat wisatawan yang mencintai keindahan alam. Sewa kamar yang mencapai Rp 300.000 semalam membuat turis yang datang seperti air bah.
"Villa di sekitar Ubud, Kuta atau Nusa Dua taripnya bisa 3 kali lipat ketimbang di sini, maka mereka berdatangan seperti air bah," ungkap Punia yang juga guru fisika di SMA Tegallalang ini.
Selain karena murah, pemandangan di pagi hari yang menyajikan sunrise seakan merayap di atas kepala kita juga menjadi sensari tersendiri. Matahari terbit muncul dari sela hutan pinus yang indah di puncak jurang. Sedangkan gunung Agung berada di bagian kanan setiap pagi menampakkan pemandangan yang seperti mengantarkan penghuni villa menuju ke nirwana.
Tambahan lagi pemandangan di Bangkiang Sidem sendiri begitu menawan. Jalan beraspal hanya di ujung desa, selebihnya dibiarkan jalan tanah. Gapura atau kuri setiap rumah penduduk masih berupa citakan dengan atap jerami.
"Kampung ini seperti suasana Ubud ketika dilukis oleh Bonet atau Walter Spies tahun 30-an, masih perawan, penuh dengan halimun di pagi hari dan matahari menerobos dari sela pohon kelapa," ujar Audrey, 43 tahun bule asal Swedia yang seminggu bermukim di Bangkiang Sidem.
Dan bukan hanya bule dari mancanegara, menjelang pergantian tahun turis domestik juga banyak menyerbu kawasan sejuk yang seperti berada di tengah hutan ini.
"Mereka biasanya melakukan booking lewat internet, kami melakukan penjualan lewat media online karena menjadi satu dengan promosi ciber pusat di Ubud, kami tak pernah kehilangan pelanggan karena mereka ibaratnya bisa mengetahui keadaan kamar sepanjang tahun lewat satelit," tutur Wayan Jagrem, 41 tahun pemilik Villa Sucik masih di kawasan Bangkiang Sidem.
Promosi lewat internet itulah yang membedakan juga Bangkiang Sidem dengan villa lainnya di Bali. Yang biasanya melakukan promosi lewat jalur, menyebarkan booklet di berbagai travel dan hotel di Bali.
"Bila melakukan promos seperti itu, tamu yang kita dapatkan adalah mereka yang sudah pernah tinggal di berbagai hotel dengan tarip murah meriah, ketika datang kemari mereka inginnya tarip yang lebih banting harga alasannya di tempat lain vasilitasnya bintang 5," tambah Jagrem.
Tapi dengan promo lewat internet, pemilik dan calon penghuni bisa melakukan kontak lewat email. Mereka juga bisa melihat lokasi villa lewat Google Earth yang real time, artinya mereka bisa lihat langsung gambar asilinya lewat satelit.
Tentu selain lewat media canggih macam internet itu promosi lewat mulut ke mulut juga sangat penting.
"Ada tamu saya yang datang 4 tahun lampau, sekarang ini mengutus temannya untuk tinggal lagi disini karena sudah tahu suasananya indah dan penduduknya hangat kepada tamu," tutur Jagrem yang juga pelukis.
Dan karena tempatnya terpencil, jauh dari jalan raya, jauh dari keramaian pasar, maka di Bangkiang Sidem kita tak akan pernah mendengarkan raungan motor.
"Sepanjang malam hanya ada suara burung malam, seperti kruak dan belibis yang terbang dari pohon kepohon," ungkap Audrey lagi.
Sesuatu yang tidak dia bisa dapatkan bila tinggal di Ubud misalnya yang keriuhannya seakan sepanjang waktu. Di Bangkiang Sidem bahkan siang hari bolong pun kita sulit melihat orang berseliweran di jalanan.
Hanya sesekali ada petani yang melintas membawa sekeranjang rumput, selebihnya jurang di bagian barat Sungai Wos ini sepi seperti tidak ada penghuninya. Jarak antara satu villa dengan yang lainnya yang berbilang ratusan meter juga menjadikan tempat ini begitu digandrungi oleh wisatawan.
"Saya tidak senang dengan villa yang saling dempet, seakan nafas tetangga sebelah kamar bisa kita dengarkan apalagi bila mereka memutar musik," tambah Audrey.
Bagi Punia dan Jagrem yang merupakan penduduk asli Bangkiang Sidem, suasana seperti itu memang sengaja mereka buat. Lahan di Bangkiang Sidem memang termasuk masih sangat luas, sehingga jarak antar villa bisa dibuat sejarang mungkin.
"Juga karena tempatnya terpencil, untuk membangun sebuah villa perlu tenaga ekstra untuk mengangkut bahan bangunan dari jalan, ongkosnya jadi berlipat ganda," ungkap Punia.
Dan jangan lupa, karena tempatnya terpencil hanya segelintir orang saja yang tahu tempat ini ada penghuninya. Bangunan seakan tersembunyi dan nyempil di antara gugusan pohon tinggi yang memayungi jurang sehingga dari kejauhan tak tampak sama sekali.
Selain itu karena berada di tempat yang jauh dari fasilitas umum, setiap villa harus menyediakan secara mandiri mulai dari fasilitas air listrik dan jalan tembusnya.
"Setiap villa bisa menghabiskan sampai 80 juta untuk yang memiliki 2 kamar, 1 dapur dan 1 ruang tamu, jadi kami harus menunggu lama untuk kembali modalnya," ungkap Punia yang dulunya pernah jadi pematung dan pelukis ini.
Tapi demi melihat lahannya berada di tepian jurang dan banyak turis yang senang bertengger di tempat seperti itu, dia memutuskan untuk membangun villa sederhana sekitar 5 tahun lampau. Dari hasil penjualan kamar kemudian dia kumpulkan selembar demi selembar. Sekarang ini dia memiliki 5 villa, tapi hanya satu yang memiliki kolam, dua dengan dapur cukup besar yang lainnya cuma ruang tamu dan ruang santai keluarga.
Dengan fasilitas itupun kamarnya tak pernah sepi, walau ketika di tempat lain banyak villa menganggur karena tidak dilirik oleh para tamu. Begitulah Bangkiang Sidem, dia seakan menjadi semacam dunia lain bagi keramaian Ubud dan tetirah wisata lainnya di Bali yang saling berlomba memberikan fasilitas berlebih kepada tamu. Tapi Bangkiang Sidem dengan fasilitas yang ala kadarnya toh tetap diburu oleh wisatawan yang inginkan suasana kampung yang tentram nyaman tapi tetap aman dan tentu saja keindahannya tidak tertandingi.
Beberapa villa seperti milik Punia bahkan menyediakan wifi gratis bagi setiap tamu yang menginap di tempat itu. "Jadi mereka cukup buka laptop dan dunia seperti menghampar didepan mereka walau berada jauh dari keriuhan dunia,"papar Punia lagi.
Villa yang berada di atas tebing sungai itu bahkan sering dijadikan tempat retreat, yoga meditasi oleh kelompok lebih dari 10 orang. Mereka tinggal di villa yang sunyi sepanjang hari, tidak beranjak barang sedetik pun keluar lingkungan yang indah itu. Menyerap keindahan alam dan menyatu dengan alam begitu mereka menyebutnya.
"Kita seperti tercerabut dari kemapanan dan kesibukan yang mendera bathin, kembali menjadi seseorang yang bukan siapa-siapa itu yang terasa amat menyenangkan kadang membuat kita tertawa terbahak," ungkap Magie, 32 tahun peserta program meditasi di tempat itu.
Hanya ada satu cela di tempat ini, yakni banyaknya tupai liar yang menyerbu puluhan pohon kelapa yang bertebaran di tempat itu. Juga banyaknya anak muda baru gede yang bergerombol di tepian jurang untuk menembaki tupai itu.
"Padahal kami sudah membuat aturan tertulis dengan memberikan sangsi berat kepada pelaku perburuan tupai, namun mereka tak mengindahkannya," papar Punia yang dianggap sesepuh Bangkiang Sidem.
Yang juga tak kalah menyesakkan dada adalah banyaknya investor yang ingin membuat resort atau gugusan villa di tempat itu demi menyaksikan tingginya tingkat hunian villa di tempat itu. Mereka umumnya mengincar para petani yang sudah bosan dengan kehidupan yang miskin sepanjang waktu sebagai penghasil beras dan padi.
Harga tanah yang menjulang sampai Rp 75 juta per arenya juga mendorong petani untuk melepas sawah mereka. "Ketimbang hanya menghasilkan 4 ton gabah setahun yang hanya laku dijual Rp 2000 sekilonya lebih baik dijual saja biar bisa beli sedan dan bikin rumah berdinding beton, kami kan juga ingin merasakan hidup nikmat dan kaya," ungkap Ketut Rinang, 68 tahun petani terakhir di Bangkiang Sidem.
Putra kalangan petani di tempat itu tak tertarik lagi membajak sawah, mengayunkan cangkul di tanah berlumpur, mereka lebih senang menikmati hari dengan nongkrong di bale banjar sambil menjemba ayam kurungan yang siap diadu.
Atau duduk bergaya koboy di atas sepeda motor mereka, hal yang banyak dilakukan oleh kalangan remaja yang baru usai menjual sawah di tempat lain di luar Bangkiang Sidem. Bule atau wisatawan domestik yang bermukim di sekitarnya juga bisa menerima suasana seperti itu, walau mereka lebih senang lagi bila masih tetap bisa menyaksikan petani sibuk di tengah sawah mereka. Sibuk menuai padi, mencangkul tanah berlumput.
"Kami bahkan pada waktu tertentu bisa langsung terjun melakukan panen dan membantu petani mengangkut gabah mereka ke tepian jalan yang masih berupa tanah terbuka tanpa ditutupi beton atau aspal," ungkap Magie. Ini dua hal yang saling bertentangan, petani inginkan sejumput gemerlap dunia modern, sedangkan penghuni setiap villa inginkan suasana masa lampau yang akrab dengan kesederhanaan yang minimalis.
Selebihnya, Bangkiang Sidem adalah surga yang bisa kita dapatkan di bumi, langit seakan berada di atas ubun-ubun, matahari berada dalam jangkauan dan gemericik Sungai Wos yang mengalir deras sepanjang waktu seakan berada di telapak kaki kita.
Sumber: kompas.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Global Masih Volatil, Potensi Harga Emas Melesat Terbuka

PETUGAS VETERAINER DATANG UNTUK ANALISA KEMATIAN KAMBING YANG MENDADAK

Aneka Gethuk Jajan khas jawa Tengah