Terungkap, Wanita Lebih Kuat Hadapi Krisis Ekstrem Dibanding Pria

PT RIFAN FINANCIDO BERJANGKA – Wanita selalu identik dengan kelembutan. Namun, di balik kelembutan wanita ada kekuatan besar yang tersembunyi.

Riset terbaru dari University of Southern Denmark dan Duke University semakin menguatkan ungkapan tersebut.

Fakta dalam penelitian tersebut mengungkapkan, dibanding pria, perempuan lebih baik dalam menghadapi situasi krisis, bahkan hingga kadar yang parah sekalipun. Misalnya, kelaparan, epidemi, dan perbudakan.

Sifat 'tahan banting' wanita ini rupanya telah dimulai sejak mereka dilahirkan.
Riset dari National Academy of Sciences membuktikan, saat pertama dilahirkan, lebih banyak anak gadis yang selamat dari keadaan ekstrem daripada anak lelaki.

Menurut periset, meski situasi krisis dapat mengurangi kemampuan seseorang untuk bertahan hidup, tapi kemampuan bertahan hidup wanita tetap lebih baik dari pria.

Hasil riset juga menyebutkan, pria memiliki angka kematian yang sama atau bahkan lebih tinggi daripada wanita.

Kemampuan bertahan hidup wanita ini, menurut para peneliti, berasal dari faktor alami.

Para peneliti mempelajari tujuh populasi yang dipercaya memiliki tingkat harapan hidup sangat rendah.

Tingkat harapan hidup hanya sekitar 20 tahun atau kurang untuk setidaknya salah satu gender, dalam rentang kira-kira 250 tahun.

Populasi yang diteliti tersebut antara lain, budak Liberia dan budak perkebunan Trinidad pada era 1800-an, dan populasi yang mengalami kelaparan Ukraina 1933.

Lalu, warga yang dilanda kelaparan di Swedia 1772-1773, populasi dengan wabah campak di Islandia pada tahun 1846 dan 1882, serta wabah kelaparan besar di Irlandia tahun 1845-1849.

Riset tersebut menunjukkan, dibanding pria, kemampuan perempuan untuk bertahan hidup dalam kondisi amat ekstrem tersebut, ternyata lebih besar. Rata-rata mereka hidup lebih lama empat tahun dibanding pria.

Hasil studi mengungkap, penyebab utama fenomena ini bukanlah faktor-faktor risiko yang disadari, misalnya merokok atau minum alkohol, mengemudi yang tidak aman, makan tidak sehat, atau pun kekerasan.

Sebaliknya, para penulis berspekulasi, yang berperan besar terhadap fenomena ini adalah faktor biologis.

Faktor biologis yang dimaksud adalah perbedaan hormon dan genetik seperti estrogen yang memiliki efek anti-inflamasi, dan berguna untuk meningkatkan kekebalan tubuh.

Secara keseluruhan, riset yang dipimpin oleh Virginia Zarulli dan James Vaupel ini telah membuktikan kekuatan perempuan dalam bertahan hidup yang lebih tinggi dari pria.

"Fenomena terkait gender ini berasal dari kombinasi antara faktor biologi dan lingkungan," ucap ahli epidemiologi Sandro Galea dari Boston University School of Public Health.

"Faktor biologi mungkin tentang hormon seks, yang dikenal antiinflamasi dan memiliki efek perlindungan vaskular," tambahnya.

Namun, Sandro Galea berpendapat, faktor lingkungan lebih berperan besar dibandingkan faktor biologi ini.

Menurut dia, faktor lingkungan dapat dipengaruhi oleh berbagai hal daripada faktor biologi.

Sementara itu, Peter Jay Hotez, Dekan National School of Tropical Medicine, Baylor University  berpendapat, akan lebih baik jika riset ini tidak hanya mempelajari contoh-contoh kejadian dari catatan sejarah. 

Dia memandang, akan penting juga diambil contoh-contoh kehidupan yang lebih modern untuk melihat apakah paradigma seperti ini masih bertahan.
Nah, jika pun mengambil contoh peristiwa ekstrem penyebaran wabah ebola di 

Afrika Barat pada tahun 2013, hasil riset ini pun tak bisa dibantah. 
Sebab, berdasarkan laporan yang dilansir New England Journal of Medicine tahun 2016 disebutkan jumlah pasien wanita yang selamat dalam wabah ebola itu lebih banyak dibandingkan pria. 

Sumber: kompas.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Global Masih Volatil, Potensi Harga Emas Melesat Terbuka

PETUGAS VETERAINER DATANG UNTUK ANALISA KEMATIAN KAMBING YANG MENDADAK

Aneka Gethuk Jajan khas jawa Tengah