Temukan Katalis Untuk Memaksimalkan Energi Matahari, Dan Melihat Black Hole

PT RIFAN FINANCINDO BERJANGKA

PT Rifan Financindo - Semarang,  Kabar baik tersiar dari California, Amerika Serikat. Para peneliti gabungan dari Institut Teknologi California dan Laboratorium Nasional Lawrence di Berkeley menemukan selusin fotoanoda baru, yang sangat berguna dalam proses pemanfaatan energi surya. 

Bahan bakar dari sinar matahari, atau yang dikenal dengan solar fuel, secara teori amat mudah dibentuk dan punya bahan dasar yang berlimpah. Cukup dengan tiga komponen, yakni sinar matahari, air, dan karbon dioksida (CO2).   

Hasilnya pun luar biasa. Dengan memisahkan dua unsur dalam air, yakni atom oksigen dan dua atom hidrogen, muncullah energi baru. Atom hidrogen yang dipisahkan dari air bisa membuat gas yang mudah terbakar. Atau, jika dikombinasikan dengan karbon dioksida, bisa menjadi bahan bakar hidrokarbon. Dengan pancaran sinar matahari, proses pun terjadi.

“Dua cara tersebut bisa menjadi sumber energi terbarukan. Tentu jumlahnya pun berlimpah,” demikian menurut para ilmuwan dalam jurnal Proceeding of the National Academy of Science edisi Maret 2017. 

Namun itu teori. Kenyataannya, selama ini pemisahan molekul air kerap jadi masalah. Secara praktek, tidak mudah. Kalau segampang itu, para peneliti berseloroh dalam jurnal, tentunya tidak ada laut di bumi.

Nah, untuk itu, diperlukan metode dan alat khusus untuk memisahkannya, yaitu fotoanoda atau bahan dasar katalis atau zat yang mempercepat laju pemisahan tersebut. Masalahnya, dalam empat dekade ini, ilmuwan baru menemukan 16 bahan fotoanoda melalui rangkaian pengujian rumit senyawa untuk menemukan potensinya satu per satu. 

Lewat penelitiannya selama dua tahun, John Gregoire, pemimpin studi, boleh berbangga. “Riset kami telah menemukan 12 fotoanoda baru dengan metode yang lebih sederhana,” katanya. 

Kunci keberhasilan Gregoire dan tim adalah menggabungkan pendekatan komputasi serta penyortiran data material tambang yang berpotensi dibuat fotoanoda. Seleksi tersebut dilakukan berdasarkan sifat-sifat bahan. Barulah kemudian tim mengujinya. Cara ini memangkas rangkaian panjang pengujian senyawa satu per satu.

Gregoire, seperti dikutip dari laman berita Science Daily, mengatakan tim menguji 174 mineral vanadate, yaitu mineral yang mengandung vanadium, oksigen, dan satu elemen lain dalam tabel periodik sekaligus. “Ternyata, ketiga unsur berbeda di dalam satu material menghasilkan sifat fotoanoda yang baik,” kata dia.

Jeffrey Neaton, anggota studi yang juga Direktur Molecular Foundry, menyebut studi ini membuktikan, pada masa depan, ilmu pengetahuan tidak bisa lepas dari kajian antar-disiplin ilmu. “Selain mengidentifikasi senyawa baru untuk aplikasi bahan bakar solar, kami bisa belajar sesuatu yang mendasari struktur elektronik,” ucap dia. 

Dalam film Interstellar yang dirilis pada 2014, pilot pesawat antariksa Joseph Cooper, yang diperankan Matthew McConaughey, masuk ke lubang hitam Gargantua. Lolos dari tarikan gravitasi dahsyat lubang hitam yang meremukkan kapalnya, Cooper justru terjebak dalam ruang empat dimensi Tesseract, di mana dia melihat peristiwa dan para kenalan di masa lalunya. Sendirian.

Tergolong film fiksi, Interstellar berusaha memberi penjelasan seakurat mungkin tentang lubang hitam. Sejumlah ahli fisika teori, termasuk Kip Thorne dari California Institute of Technology, dilibatkan sebagai konsultan. Meski berusaha dijelaskan dengan bahasa sederhana dalam film, lubang hitam tetap menjadi fenomena alam yang kompleks.

Tak ada yang tahu seperti apa rupa asli lubang hitam. Ahli fisika Albert Einstein sudah memprediksinya dalam Teori Relativitas Umum pada 1915. Eksistensinya kemudian dijabarkan secara matematis oleh Karl Schwarzchild pada tahun yang sama. Lubang hitam digambarkan sebagai material atau area di angkasa luar yang memiliki tarikan gravitasi luar biasa.

Usaha mencari rupa lubang hitam itu kini dilakukan para ahli astronomi. Dimulai pada 5 April lalu hingga Jumat pekan ini, mereka menjalankan program Event Horizon Telescope (EHT), sistem teleskop radio di dunia untuk melihat Sagittarius A*--lubang hitam gigantik di pusat galaksi Bima Sakti yang massanya empat juta kali lipat massa matahari.

“Observasi ini akan membantu memilah beragam teori liar tentang lubang hitam,” kata Gopal Narayan, ahli astronomi dari University of Massachusetts, Amherst, Amerika Serikat.

Proyek EHT menggabungkan sejumlah jaringan teleskop dari Hawaii, Arizona, dan California di Amerika, Meksiko, Cile, Spanyol, hingga Antartika. Resolusinya 1.000 kali lebih kuat dari teleskop antariksa Hubble.

 Dengan kemampuan itu, EHT dinilai mampu memantau dengan jelas Sagittarius A*, yang terletak 26 ribu tahun cahaya atau sekitar 247 ribu triliun kilometer dari bumi. Mencari citra lubang hitam dengan jarak sejauh itu, “Seperti berusaha memotret jeruk di permukaan bulan,” kata Narayan.

Alih-alih hitam, menurut Direktur EHT Shepard Doeleman, lubang hitam sebenarnya dikelilingi plasma panas. Lubang hitam merupakan salah satu obyek paling terang di jagat raya. “Kami berharap bisa mendapatkan sesuatu yang dilakukan obyek ini secara alami untuk membuat dirinya tak tampak,” kata Doeleman.

 Selama ini para ahli astronomi meyakini sebagian besar lubang hitam raksasa, dengan ukuran miliaran kali lebih besar dari matahari, berada di jantung setiap galaksi. Namun ada pula sebagian yang menjadi liar. Mereka terpental ke luar galaksi dan melanglang buana di jagat raya setelah “kalah” dalam peristiwa tumbukan antargalaksi.

Para peneliti membuktikan keberadaan lubang hitam dengan mendeteksi gelombang gravitasi dari bintang-bintang yang mengorbit pusat galaksi. Tahun lalu, eksperimen dengan Ligo Interferometer Gravitational-Wave Observatory (LIGO) bahkan mendapati riak gravitasi yang dipicu tabrakan dua lubang hitam jutaan tahun silam.

Para peneliti berharap bisa mendapatkan citra event horizon Sagittarius A*. Event horizon adalah seperti perbatasan di mana material dan radiasi yang sudah melintasinya tak akan bisa keluar lagi. Tak ada yang pernah tahu apa yang terjadi pada material yang terisap lubang hitam.

Proyek RHT juga digunakan untuk memantau lubang hitam raksasa di inti galaksi M87. Letaknya 53,5 juta tahun cahaya dari bumi. Massa lubang hitam ini enam miliar kali massa matahari. Ukuran event horizon jauh lebih besar dari Sagittarius A*.

Meski menyiapkan berbagai skenario menghadapi kendala teknis, proyek EHT sangat bergantung pada kemurahan alam. Gangguan cuaca buruk pada salah satu dari enam lokasi teleskop akan mengganggu hasil pengamatan.

“Aku hanya bisa berharap tak ada topan besar di gurun Atacama,” kata Avery Broderick, peneliti yang bekerja di Atacama Large Millimeter/Submillimeter Array (ALMA), yang terletak di Andes, Cile.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Global Masih Volatil, Potensi Harga Emas Melesat Terbuka

PETUGAS VETERAINER DATANG UNTUK ANALISA KEMATIAN KAMBING YANG MENDADAK

Aneka Gethuk Jajan khas jawa Tengah