Ini Analisis Lengkap Kecelakaan AirAsia QZ8501
Rifan Financindo Berjangka -
Pada 28 Desember 2014, penerbangan AirAsia Indonesia QZ8501 rute
Surabaya- Singapura hilang kontak setelah sekitar 50 menit lepas landas
dari bandar udara Juanda Surabaya.
Pesawat tipe Airbus A320 dengan registrasi PK-AXC tersebut mengangkut
155 penumpang dan 7 kru terbang sekitar pukul 05.30 WIB. Pesawat hilang
kontak saat berada di airway M635 pukul 06.18 WIB.
Kronologi
Sebelumnya, kapten penerbangan yang saat itu bertindak sebagai pilot monitoring meminta izin ATC Makassar (Ujung Control) untuk menyimpang ke kiri 15 nautical miles dari jalur yang seharusnya, karena di depan ada awan comulonimbus (CB), awan tebal yang harus dihindari.
Sebelumnya, kapten penerbangan yang saat itu bertindak sebagai pilot monitoring meminta izin ATC Makassar (Ujung Control) untuk menyimpang ke kiri 15 nautical miles dari jalur yang seharusnya, karena di depan ada awan comulonimbus (CB), awan tebal yang harus dihindari.
ATC Makassar memberi izin. Saat itu QZ8501 terbang di ketinggian jelajah 32.000 kaki.
Tak berapa lama, saat pesawat memasuki ruang udara yang dikontrol
oleh ATC Jakarta (Jakarta Upper Control), pilot pun memberitahu bahwa
rute mereka sedikit menyimpang untuk menghindari awan CB.
ATC Jakarta mengidentifikasi QZ8501 di layar radar mereka, dan
meminta awak QZ8501 melapor jika sudah lewat dari cuaca buruk di
depannya.
Tak berapa lama, pilot meminta izin kepada ATC Jakarta untuk
menaikkan ketinggian jelajah pesawat dari 32.000 kaki ke 38.000 kaki.
ATC Jakarta meminta kru QZ8501 standby untuk diberi izin. Empat Menit
kemudian, ATC Jakarta memberi izin QZ8501 untuk naik ke ketinggian
34.000 kaki terlebih dahulu, alih-alih langsung menuju 38.000 kaki
sesuai yang diminta pilot.
Namun setelah memberikan izin (clearance), awak QZ8501 tidak
merespon. ATC Jakarta pun mencoba memanggil QZ8501 berkali-kali, bahkan
sampai meminta traffic (pesawat lain) di dekatnya untuk mengontak
QZ8501, namun usaha itu sia-sia. QZ8501 hilang kontak, dan kedipan
posisinya menghilang dari radar pada pukul 06.18 WIB.
Menurut rekaman data ADS-B (radar sekunder pesawat), pesawat
terdeteksi berada di ketinggian 28.000 kaki dan berada di sebelah
tenggara pulau Belitung, di selat Karimata.
Investigasi
Pencarian besar-besaran pun dilakukan. Badan SAR Nasional dibantu oleh TNI dan Polri, serta bantuan dari negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura mencari serpihan badan pesawat yang diperkirakan jatuh di dasar laut.
Pencarian besar-besaran pun dilakukan. Badan SAR Nasional dibantu oleh TNI dan Polri, serta bantuan dari negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura mencari serpihan badan pesawat yang diperkirakan jatuh di dasar laut.
Setelah pencarian selama 15 hari, kotak hitam pesawat yang terdiri
atas Flight Data Recoder (FDR) dan Cockpit Voice Recorder (CVR) berhasil
ditemukan dan diangkat untuk dianalisis data-data yang terekam di
dalamnya.
Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) bekerja sama dengan biro
penyelidik kecelakaan pesawat Perancis BEA (negara asal Airbus),
melakukan penyelidikan dan menyusun laporan.
Kurang dari satu tahun, tepatnya 11 bulan 27 hari, KNKT merilis
laporan akhir (Final Report) kecelakaan Airbus A320 PK-AXC nomor
penerbangan QZ8501, dan berikut adalah laporannya.
KNKT menemukan data dari FDR bahwa selama penerbangan QZ8501, lampu
Master Caution menyala akibat peranti Rudder Travel Limiter yang tidak
berfungsi, dan menampilkan pesan teks di monitor pesawat, bahwa peranti
untuk membatasi pergerakan rudder (sayap tegak pesawat di belakang)
malfungsi.
Master Caution dan pesan tersebut muncul sebanyak 4 kali
berturut-turut. Pada peringatan pertama hingga ketiga, pilot melakukan
troubleshooting masalah sesuai dengan prosedur yang ditampilkan oleh
komputer pesawat (ECAM/Electronic Centralized Aircraft Monitoring).
Namun saat peringatan ke empat muncul, data yang dicatat FDR
menunjukkan bahwa kru pesawat mengambil tindakan lain untuk mengatasi
masalah pesan yang muncul berulang-ulang tadi.
Berdasar data FDR, kru pesawat melakukan hal yang berbeda, yang
parameternya mirip dengan apa yang terjadi tiga hari sebelumnya, 25
Desember 2014, manakala kedua CB (circuit breaker/sekring) komputer
pesawat FAC (Flight Augmentation Computer) dilepas dan dipasang lagi
saat di darat. Tindakan ini dilakukan untuk mereset komputer.
FDR pun mencatat peringatan kelima dan enam yang muncul, yaitu
peringatan yang menunjukkan bahwa komputer FAC 1 dan FAC 2 tidak
berfungsi.
Tentang FAC sendiri, Airbus memiliki dua komputer FAC yang fungsinya
adalah memberikan proteksi terhadap perilaku pesawat. Komputer tersebut
membatasi gerak rudder (kendali serong), aileron (kendali guling), dan
elevator (kendali angkat).
Jika kedua FAC itu mati, pesawat masih bisa terbang seperti biasa,
hanya saja tidak ada komputer yang membatasi pergerakan pesawat.
Autopilot dan Autothrust pun menjadi tidak berfungsi. Pilot harus
menerbangkan pesawat secara manual sepanjang penerbangan.
Bukan kerusakan serius
Sebenarnya, kerusakan di unit rudder travel limiter (RTL) bukan hal yang serius. Pesawat masih bisa diterbangkan (flyable) oleh pilot dan kopilot dengan batasan-batasan tertentu.
QRH (Quick Reference Handbook) dalam Airbus A320 menyebut, jika RTL tidak berfungsi, maka layar komputer di kokpit akan menunjukkan pesan "RUD WITH CARE ABOVE 160 KT" yang artinya pilot harus berhati-hati dalam mengoperasikan kendali rudder di atas kecepatan 160 knots.
Fungsi dari RTL hanyalah membatasi pergerakan rudder dalam kecepatan tertentu. Dalam kecepatan rendah, rudder bisa bergerak bebas ke kanan atau kiri.
Makin tinggi kecepatan pesawat, maka semakin sensitif efek pergerakan rudder tersebut. Sedikit saja perubahan rudder di kecepatan tinggi, maka efeknya ke gerakan pesawat juga akan besar.
Karena itulah RTL membatasi gerakan rudder saat pesawat melaju kencang, untuk menghindari over-controlling.
Bukan kerusakan serius
Sebenarnya, kerusakan di unit rudder travel limiter (RTL) bukan hal yang serius. Pesawat masih bisa diterbangkan (flyable) oleh pilot dan kopilot dengan batasan-batasan tertentu.
QRH (Quick Reference Handbook) dalam Airbus A320 menyebut, jika RTL tidak berfungsi, maka layar komputer di kokpit akan menunjukkan pesan "RUD WITH CARE ABOVE 160 KT" yang artinya pilot harus berhati-hati dalam mengoperasikan kendali rudder di atas kecepatan 160 knots.
Fungsi dari RTL hanyalah membatasi pergerakan rudder dalam kecepatan tertentu. Dalam kecepatan rendah, rudder bisa bergerak bebas ke kanan atau kiri.
Makin tinggi kecepatan pesawat, maka semakin sensitif efek pergerakan rudder tersebut. Sedikit saja perubahan rudder di kecepatan tinggi, maka efeknya ke gerakan pesawat juga akan besar.
Karena itulah RTL membatasi gerakan rudder saat pesawat melaju kencang, untuk menghindari over-controlling.
Kenapa lepas sekring di udara?
Terkait dengan tindakan kru QZ8501 yang melepas sekring untuk mengatasi masalah rudder travel limiter yang muncul berkali-kali, KNKT melakukan investigasi riwayat terbang kapten penerbangan.
Terkait dengan tindakan kru QZ8501 yang melepas sekring untuk mengatasi masalah rudder travel limiter yang muncul berkali-kali, KNKT melakukan investigasi riwayat terbang kapten penerbangan.
Dari riwayat tersebut, ditemui data bahwa tiga hari sebelumnya, pada
25 Desember 2014, kapten penerbangan bertugas dengan pesawat yang sama
yang dipakai pada 28 Desember 2015, yaitu Airbus A320 registrasi PK-AXC.
Kopilot yang bertugas saat itu adalah kopilot yang berbeda.
Saat itu, PK-AXC terbang rute Surabaya - Kuala Lumpur. Saat penumpang
sudah naik semua, dan pesawat didorong mundur sambil kedua mesin
dinyalakan, pesan peringatan tentang rudder travel limiter muncul di
layar ECAM.
Pilot kemudian memutuskan untuk kembali ke parking stand, mesin
dimatikan, dan mekanik diminta naik ke pesawat untuk mengatasi masalah
tersebut.
Berdasar pada Trouble Shooting Manual (TSM) Airbus A320, mekanik
melepas sekring komputer pesawat FAC1 dan 2 dan melakukan serangkaian
test IBITE (Build in Test), yang ternyata bisa mengatasi masalah pesan
peringatan rudder tadi.
Saat itu, pilot dan mekanik terlibat dalam diskusi. Pilot menanyakan
kepada mekanik, apakah ia bisa melakukan prosedur yang sama (melepas
sekring) jika masalah tersebut muncul kemudian hari?
Mekanik menjawab boleh jika diminta oleh komputer ECAM.
Pesawat pun kembali bersiap berangkat, namun saat kedua mesin dinyalakan
lagi, pesan peringatan yang sama tentang masalah rudder muncul kembali.
Mekanik yang melihat pesawat tidak bergerak walau kedua mesin telah
menyala, mengambil interphone yang masih terhubung dengan pesawat dan
menanyakan apa yang terjadi. Pilot pun mengatakan masalah yang sama
muncul lagi dan semua prosedur ECAM telah dilakukan, namun tidak
mengatasi masalah.
Pilot menanyakan kepada mekanik apakah boleh mereset FAC dengan mencabut CB.
Mekanik yang bertugas saat itu kepada KNKT mengatakan melihat kopilot
(orang yang berbeda dengan kejadian QZ8501) berdiri dari kursinya.
Setelah mereset FAC, ternyata pesan peringatan tersebut tidak juga
hilang. Pesawat kemudian diparkir lagi dan penumpang diturunkan.
Mekanik kemudian mengganti modul FAC2 dan meminta pilot menyalakan
kedua mesin. Beres, peringatan rudder travel limiter tidak menyala
kembali.
Pesan peringatan tersebut tidak muncul kembali sepanjang penerbangan Surabaya - Kuala Lumpur PP.
Upset condition dan stall
Kembali ke penerbangan QZ8501, setelah kru pesawat mereset komputer FAC1 dan 2, maka kondisi pesawat yang semula berada pada Normal Law (kondisi yang oleh Airbus disebut sebagai kondisi normal saat semua komputer bekerja), berubah menjadi Alternate Law, yang artinya pada kondisi ini sejumlah proteksi akan mati.
Kembali ke penerbangan QZ8501, setelah kru pesawat mereset komputer FAC1 dan 2, maka kondisi pesawat yang semula berada pada Normal Law (kondisi yang oleh Airbus disebut sebagai kondisi normal saat semua komputer bekerja), berubah menjadi Alternate Law, yang artinya pada kondisi ini sejumlah proteksi akan mati.
Autopilot dan Autothrust pun menurut data FDR mati (disengage)
saat itu juga. Karena tidak ada proteksi, dan kru pesawat masih
melakukan trouble shooting, komputer tidak lagi mengontrol pergerakan
rudder yang ternyata saat itu berbelok ke kiri sekitar 2 derajat.
Hal itu membuat pesawat secara perlahan berguling ke kiri dengan
kecepatan 6 derajat per detik. Hal ini berlangsung selama 9 detik tanpa
ada kru pesawat yang menyadari, sehingga posisi pesawat banking (miring)
hingga 54 derajat.
Jika FAC masih menyala saat itu, maka komputer akan memproteksi
pesawat berbelok (miring) secara ekstrim hingga 54 derajat. Airbus
membatasi pergerakan pesawat dengan software komputer, jika pesawat
miring lebih dari 33 derajat, maka komputer akan menggerakkan pesawat
kembali ke kemiringan yang aman.
FDR mencatat, setelah 9 detik miring ke kiri hingga sudut 54 derajat,
input pertama yang diterima komputer adalah sidestick (tuas kendali) di
sebelah kanan (dikendalikan oleh kopilot) ditarik ke belakang sehingga
hidung pesawat naik dengan sudut 15 derajat.
Input yang terekam berikutnya adalah pesawat berguling ke kanan sehingga
sudut kemiringannya hanya 9 derajat ke kiri dengan angle of attack
(sudut sayap relatif terhadap aliran udara) sebesar 8 derajat, sehingga
memicu peringatan stall (pesawat kehilangan daya angkat).
Peringatan stall sempat hilang saat angle of attack pesawat berkurang
dari 8 derajat, namun posisi hidung pesawat tetap naik 15 derajat,
sehingga pesawat terus naik dari ketinggian 34.000 kaki ke ketinggian
38.000 kaki.
Jatuh 6.000 meter per detik
Tak berapa lama, FDR kemudian mencatat sidestick kanan dibelokkan ke kiri hingga maksimal, pesawat banking lagi ke kiri 53 derajat dengan angle of attack yang tinggi, sekitar 40 derajat.
Tak berapa lama, FDR kemudian mencatat sidestick kanan dibelokkan ke kiri hingga maksimal, pesawat banking lagi ke kiri 53 derajat dengan angle of attack yang tinggi, sekitar 40 derajat.
Hidung pesawat mendongak hingga sudut 45 derajat, menyebabkan pesawat naik hingga ke ketinggian 38.000 kaki.
Dalam posisi angle of attack besar, pesawat masuk dalam kondisi upset (susah dikendalikan), dan memicu stall (pesawat kehilangan daya angkat).
Input yang terekam FDR dari sidestick sebelah kanan merekam posisinya
ditarik ke belakang hingga pesawat naik dengan kecepatan 11.000 kaki
per menit dengan angle of attack lebih dari 40 derajat.
Kecepatan pesawat terendah adalah 55 knots saat mulai stall, dan saat
jatuh bebas kecepatannya fluktuatif antara 100 hingga 170 knots.
Pesawat jatuh bebas tanpa kendali dari ketinggian 38.000 kaki dengan
kecepatan vertikal antara 12.000 kaki hingga 20.000 kaki per menit
(4.000 - 6.000 meter per detik).
Komunikasi yang membingungkan
Dalam kondisi stall tersebut, pesawat jatuh dalam posisi datar, bukan menukik. Untuk lepas dari kondisi stall, hidung pesawat harus diturunkan agar pesawat mendapat kecepatan dan aliran udara ada di sayapnya, sehingga pesawat perlahan bisa dibawa naik kembali.
Dalam kondisi stall tersebut, pesawat jatuh dalam posisi datar, bukan menukik. Untuk lepas dari kondisi stall, hidung pesawat harus diturunkan agar pesawat mendapat kecepatan dan aliran udara ada di sayapnya, sehingga pesawat perlahan bisa dibawa naik kembali.
Dan itulah yang hendak dilakukan oleh kapten penerbangan yang duduk
di kiri. Data FDR menunjukkan input sidestick kiri didorong ke depan
mencoba untuk menurunkan hidung pesawat.
Data CVR (cockpit voice recorder) yang diungkap oleh KNKT menunjukkan
pilot memerintahkan agar hidung pesawat diturunkan. CVR merekam pilot
berteriak "Pull down.. Pull down.." beberapa kali.
Namun kopilot yang duduk di sebelah kanan berdasar data FDR, memberi
input joystick yang ditarik penuh ke belakang, yang berlawanan dengan
input yang diberikan oleh kapten di sebelah kiri yang mendorong
sidestick ke depan. Terjadi dual input dalam kondisi yang kritis.
KNKT menyimpulkan bahwa komunikasi yang dilakukan antara pilot dan
kopilot tidak efektif dalam kondisi kritis tersebut. Pilot memberikan
instruksi yang membingungkan kepada kopilot dengan kata "Pull down," alih-alih perintah lainnya seperti "Push forward."
Kebingungan ini yang diduga menyebabkan kopilot menarik (pull) joystick ke belakang sidestick-nya hingga akhir rekaman FDR.
Dalam kasus dual input sidestick ini, Airbus telah mengatur prosedur
pertukaran siapa yang memegang kendali. Jika ingin mengambil alih
kendali, phraseology yang digunakan adalah "I have control" atau "You have control" yang diikuti dengan menekan tombol priority stick di tuas kemudi.
Jika terjadi dual input pun prosedur yang ditulis Airbus mengatakan,
tombol priority harus ditekan dan ditahan selama 40 detik untuk
meng-overide sidestick yang lain.
Namun dalam catatan FDR, tombol priority di tuas kemudi kiri (sisi
kapten) hanya ditekan dan ditahan beberapa saat, 2 hingga 5 detik saja.
Karena ada dua input sekaligus, maka logika komputer akan mengambil
nilai tengahnya. Sebagai contoh, jika sidestick kiri ditarik ke belakang
dengan nilai +15, sementara sidestick kanan diturunkan dengan nilai
-10, maka input yang diterima komputer adalah +5 saja.
Karena dual input yang berkepanjangan ini QZ8501 tidak bisa recover dari stall, hingga jatuh di perairan selat Karimata.
Investigasi modul RTLU (Rudder Travel Limiter Unit)
Badan SAR Nasional (Basarnas) berhasil mengangkat bagian ekor pesawat PK-AXC dar dasar laut. Bagian ekor pesawat dengan vertical stabilizer (sirip tegak) yang relatif utuh itu adalah bagian penting karena di dalamnya terdapat modul RTLU yang telah dicurigai sebagai penyebab jatuhnya QZ8501.
Badan SAR Nasional (Basarnas) berhasil mengangkat bagian ekor pesawat PK-AXC dar dasar laut. Bagian ekor pesawat dengan vertical stabilizer (sirip tegak) yang relatif utuh itu adalah bagian penting karena di dalamnya terdapat modul RTLU yang telah dicurigai sebagai penyebab jatuhnya QZ8501.
Kecurigaan tersebut muncul berdasar catatan perawatan pesawat yang
menyebut dalam satu tahun terakhir terjadi 23 kali kerusakan terkait
dengan unit RTL tersebut.
RTLU yang diambil dari reruntuhan pesawat A320 registrasi PK-AXC
tersebut dikirim oleh KNKT ke biro penyelidik kecelakaan pesawat udara
Perancis, BEA pada 16 Juni 2015.
Pemeriksaan komponen papan sirkuit yang dilakukan oleh BEA
menunjukkan bahwa papan sirkuit channel A dan B memiliki retakan dalam
timah solderannya.
"Retakan tersebut bisa membuat aliran listrik tersendat-sendat dan membuat RTLU gagal berfungsi," demikian tulis laporan KNKT.
BEA menyimpulkan, keretakan tersebut bisa diakibatkan oleh siklus
panas yang dihasilkan saat perangkat menyala dan dimatikan, serta
perbedaan kondisi lingkungan yang dialami selama di darat dan di udara.
Hal tersebut juga diperkuat oleh pernyataan Ketua Sub Komite
Kecelakaan Pesawat Udara KNKT, Kapten Nurcahyo Utomo di kantor KNKT,
Selasa (1/12/2015).
"Kondisi bagian ekor menjadi sangat panas saat di bandara dan sangat
dingin ketika berada di udara, bahkan sampai berada di bawah 50 derajat
celsius," demikian kata Nurcahyo.
Arus listrik yang tersendat-sendat dalam papan sirkuit yang
mengontrol RTLU inilah yang memunculkan pesan di kokpit yang
berulang-ulang.
Data FDR (flight data recorder) menunjukkan bahwa komputer
penerbangan di-reset saat berada di udara dengan cara mencabut kedua
sekring yang ada di kokpit setelah pesan peringatan RTLU muncul ke empat
kalinya sepanjang penerbangan antara Surabaya-Singapura itu.
Dengan me-reset komputer penerbangan, beberapa proteksi terhadap
attitude pesawat menjadi mati, termasuk proteksi yang menjaga agar
pesawat tidak bergerak di luar batas kendali (upset condition).
Setelah mengalami upset condition, kronologi kejadian berlangsung
seperti diceritakan di atas, pesawat mengalami stall hingga jatuh di
selat Karimata.
Semua kejadian dari mereset FAC1 dan 2 dengan cara melepas sekring,
hingga rekaman data FDR terakhir bisa dibaca, berlangsung hanya dalam
waktu kurang dari 3 menit.
Rekomendasi KNKT
Setelah melakukan investigasi secara menyeluruh dibantu oleh tim investigasi Australia (ATSB), Perancis (BEA), Singapura (AAIB), dan Malaysia (MOT), KNKT menyimpulkan lima faktor yang menjadi penyebab jatuhnya QZ8501 pada 28 Desember 2014.
Setelah melakukan investigasi secara menyeluruh dibantu oleh tim investigasi Australia (ATSB), Perancis (BEA), Singapura (AAIB), dan Malaysia (MOT), KNKT menyimpulkan lima faktor yang menjadi penyebab jatuhnya QZ8501 pada 28 Desember 2014.
Faktor pertama adalah komponen yang cacat yang terdapat dalam modul
elektronik RTL pesawat, yang menyebabkan pesan peringatan muncul
berkali-kali di layar kokpit.
Faktor kedua adalah faktor perawatan pesawat dan analisa di maskapai
Indonesia AirAsia yang dinilai belum optimal, sehingga masalah RTL
tersebut tidak terselesaikan secara sempurna.
Indonesia AirAsia menurut KNKT belum memaksimalkan informasi yang
didapat dari Post Flight Report (PFR), komputer yang mencatat semua
gejala-gejala tidak normal sepanjang penerbangan. Data PRF biasanya
di-print-out oleh komputer dalam pesawat setelah mendarat.
Faktor ketiga adalah langkah yang diambil awak pesawat yang tidak bisa mengatasi masalah RTL.
Gangguan yang muncul berkali-kali tidak bisa diselesaikan dengan
baik. Gangguan keempat yang muncul dilakukan dengan metode trouble
shooting yang berbeda, inilah yang menjadi faktor keempat yang
berkontribusi.
Sementara faktor kelima dikontribusi oleh awak pesawat yang tidak
bisa melakukan prosedur keluar dari kondisi upset pesawat (upset
recovery), hal ini menurut KNKT disebabkan oleh tidak adanya training
upset recovery yang diberikan oleh perusahaan.
Investigasi yang dilakukan menemukan buku Operation Training Manual
di Indonesia AirAsia memasukkan training upset recovery di Chapter 8.
Training tersebut terdiri atas materi di kelas (ground) dan di
simulator. Materi di kelas meliputi latar belakang, definisi, penyebab
kondisi upset, sistem aerodinamik dan sistem pesawat saat kondisi upset,
dan sebagainya.
Namun training upset recovery belum diimplementasikan dalam training
A320 karena tidak dipersyaratkan dalam Flight Crew Training Manual, dan
tidak diwajibkan oleh DGCA (Directorat General Civil Aviation/Direktorat
Jenderal Perhubungan Udara).
Cuaca dan izin rute tidak terkait dengan kecelakaan
Menindaklanjuti kejadian tersebut, Indonesia AirAsia mengklaim telah melakukan sebanyak 51 tindakan perbaikan di dalam perusahaannya, termasuk prosedur maintenance dan training upset recovery.
Menindaklanjuti kejadian tersebut, Indonesia AirAsia mengklaim telah melakukan sebanyak 51 tindakan perbaikan di dalam perusahaannya, termasuk prosedur maintenance dan training upset recovery.
KNKT juga menerbitkan rekomendasi kepada Airbus, FAA Amerika, dan EASA Eropa.
Hal-hal terkait perizinan rute dan pengaruh cuaca yang sempat diduga
sebagai faktor penyebab kecelakaan, oleh KNKT dianggap tidak terkait,
karena itu KNKT tidak melakukan pendalaman dalam kedua hal tersebut.
Sebuah peristiwa kecelakaan pesawat tidak terjadi atas kontribusi
satu faktor saja, melainkan terdiri atas beberapa faktor yang saling
berkaitan.
Investigasi KNKT pun lebih mengutamakan azas apa yang salah, bukan siapa yang salah, sehingga bisa diketahui penyebab kecelakaan seara utuh dan dikeluarkan rekomendasi-rekomendasi untuk mencegah hal yang sama terulang di kemudian hari.
Investigasi KNKT pun lebih mengutamakan azas apa yang salah, bukan siapa yang salah, sehingga bisa diketahui penyebab kecelakaan seara utuh dan dikeluarkan rekomendasi-rekomendasi untuk mencegah hal yang sama terulang di kemudian hari.
Komentar